Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Rabu, April 01, 2009

KABUPATEN SUMBAWA, Memang Lahir Tanggal 22 Januari 1959

Banyak orang mempertanyakan hari kelahiran Kabupaten Sumbawa.Pertanyaan tersebut mungkin diobsesi oleh kelahiran daerah lain ditanah air, misalnya DKI Jakarta yang sudah berusia ratusan tahun. Lalu orang menghubungkan dengan keberadaan Sumbawa yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Mengapa kok kita baru berusia 50 tahun ? tanya seorang warga misalnya. Sejumlah pejabatpun ikut-ikutan bertanya, mengapa bukan lahir tahun 1674 tahun awal pemerintahan Sultan Harunurrasyid I.
Semua itu benar, ungkap seorang pemerhati budaya di Sumbawa. Namun 22 Januari juga tidak salah, karena hari itu merupakan hari peralihan dari federasi pulau Sumbawa ke Pemerintahan swatantra, sekaligus hari itu sebagai hari bersejarah, karena Sultan Muhammad Kaharuddin III dilantik sebagai Kepala Daerah Swatantra Tk. II Sumbawa. Nah ini dasarnya mengapa Kolonel Pur.Yakub Koswara yang menjabat Bupati saat itu, menetapkan hari lahir Kabupaten Sumbawa 22 Januari 1959 itu.



Keberadaan Kabupaten Sumbawa mulai dicatat oleh sejarah sejak Zaman Dinasti Dewa Awan Kuning, tetapi tidak banyak sumber tertulis yang bisa dijadikan bahan acuan untuk mengungkapkan situasi dan kondisi pada waktu itu. Hanya yang pasti,pada saat itu rakyatnya masih menganut animisme dan sebagian sudah menganut agama Hindu. Baru pada kekuasaan raja terakhir dari dinasti Awan Kuning, yaitu Dewa Maja Purwa, telah menandatangani perjanjian dengan Kerajaan Goa di Sulawesi. Setelah wafat ia digantikan oleh Mas Goa, yang masih menganut ajaran Hindu. Ia dianggap telah melanggar salah satu perjanjian damai dengan kerajaan Goa, maka ia terpaksa disingkirkan bersama pengikut pengikutnya kesebuah Hutan, kira-kira di Desa Utan Kecamatan Utan, sekarang.
Dengan berakhirnya kekuasaan Mas Goa sekitar tahun 1673, Kerajaan Sumbawa mulai diperintah oleh raja dari Dinasti Dewa Dalam Bawa. Rakyatnya sudah menganut agama Islam. Pemerintahan ini sudah dimulai sejak tahun 1674 samapai dengan tahun 1958. Luas wilayah kekuasaannya mulai dari wilayah taklukan Kerajaan Empang hingga Jereweh ( sesuai dengan batas wilayah Kabupaten Sumbawa sebelum dimekarkan ).
Raja pertama dari Dinasti Dalam Bawa ini adalah Sultan Harunurrasyid I (1674 – 1702). Ia kemudian diganti oleh putranya Pangeran Mas Madina bergelar Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I yang kawin dengan Putri Raja Sidenreng Sulawesi Selatan yang bernama I Rakia Karaeng Agang Jene. Jalaluddin Syah I ini kemudian diganti oleh Dewa Loka Lengit Ling Samapar kemudian oleh Dewa Ling Gunung Setia. Tidak banyak bahan sejarah yang dapat mengungkapkan berapa lama keduanya memerintah, tapi diperkirakan selama 10 tahun. Ada fakta yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Datu Gunung Setia, kerajaan Sumbawa termasuk “ Bala Balong” lenyap dilalap si jago merah pada tanggal 26 Ramadhan 1145 Hijriah (1732 M).
Pada tahun 1733 Kerajaan Sumbawa kembali dipegang oleh keponakan Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I, bernama Muhammad Kaharuddin I (1733-1758). Ketika ia meninggal, kekuasaan diambil alih istrinya I Sugiratu Karaeng Bontoparang, yang bergelar Sultan Siti Aisyah. Raja wanita ini dikenal sering berselisih paham dengan pembantu raja, sehingga pada tahun 1761 ia diturunkan dari tahta dan mengharapkan , digantikan oleh Lalu Mustanderman Datu Bajing, namun ia menolak, dan menyarankan untuk mengangkat adiknya, Lalu Onye Datu Ungkap Sermin ( 1761-1762 ). Pemerintahannya hanya berjalan setahun. Konon karena ia lari dari istana untuk menghindari perang saudara, atas kekeliruannya menikahi seorang wanita yang telah lama ditinggalkan berlayar oleh suaminya, Lalu Angga Wasita yang terkenal keperkasaannya. Ia menyangka Lalu Angga Wasita sudah meninggal karena tidak pernah ada kabar beritanya. Tapi suatu hari lelaki perkasa itu muncul. Karena raja merasa bersalah maka ia lari pada malam Selasa , di hari ke 14 Ramadhan waktu bulan purnama raya.
Kepergian Datu Ungkap Sermin itu membuat lowongnya kursi raja. Maka diangkatlah Gusti mesir Abdurrahman, keturunan Raja Banjar. Meski ia bukan trah Dinasti Dewa Dalam Bawa, tetapi memungkinkan untuk diangkat menjadi raja karena telah menikah dengan puteri Sultan Muhammad Jalaluddin Syah I. ia pun diberi gelar Muhammad Jalaluddin Syah II, dan memegang kekuasaan selama 3 tahun (1762-1765). Ia mangkat pada tanggal 1 Dzulhijjah 1179 Hijriah ( 1765 Masehi). Maka diangkatlah putra mahkota yang masih berumur 9 tahun menjadi “raja boneka” yaitu sultan Mahmud. Sedangkan yang menjalankan pemerintahan diangkat Dewa Mapeconga Mustafa datu Taliwang.
Keputusan ini menimbulkan amarah datu Jereweh, karena ia sangat berambisi untuk menjadi raja. Maka ia berangkat ke Makasar untuk meminta bantuan kompeni (VOC) agar bisa menciptakan kekacauan di Kerajaan Sumbawa. Sebelum berangkat, datu Jereweh menemui kerajaan-kerajaan tetangganya dan mempengaruhi mereka supaaya ikut mendukung rencananya dan ikut menandatangani perjanjian dengan VOC sekaligus membatalkan segala hal yang telah diatur dalam perjanjian Bongaya antara VOC dengan raja Goa yang isinya antara lain VOC tidak boleh mencampuri urusan perdagangan di kerajaan selatan.
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1765 di Fort Rotterdam ditandatangani perjanjian antara Cornelis Senklaar Komodour sebagai wakil VOC denga pihiak raja – raja selatan yang antara lain Sultan Abdul Kadir Muhammad Dzillillah Fil Alam ( raja Bima ), Hasanuddin Datu Jereweh ( mengatas namakan raja Sumbawa ), Achmad Alauddin Johan Syah (raja Dompu), Abdurrasyid (raja Sanggar) dan Abdurrahman (raja Papekat).
Perjanjian ini berisi tentang diperkenankannya VOC masuk Sumbawa. Tapi perjanjian ini kemudian dibatalkan lewat kontrak baru tanggal 18 Mei 1766 berkat keberhasilan diplomasi utusan kerajaan Sumbawa Dea Tumuseng. Dalam perjanjian ini disebutkan, apabila Sultan Mahmud dewasa, maka kekuasaan raja akan diserahkan kembali kepadanya.Tapi pada waktu Sultan Dewa Mepaconga Mustafa sakit pada tahun 1189 H (1775 M), beliau digantikan oleh Datu Busing Lalu Komak, yang bergelar Sultan Harrunnurrasyid II (1777-1790). Sementara Sultan Mahmud yang putra mahkota itu tidak pernah diangkat menjadi raja yang sebenarnya, hingga ia meninggal dunia pada 8 jumadil akhir 1194 H (1780 M) dalam usia 24 tahun. Pada waktu pemerintahan Harrunnurrasyid II ini telah berhasil diselesaikan penulisan Kitab Suci Al Qur’an dengan tulisan tangan oleh Muhammad Ibnu Abdullah Al Jawi Negeri Sumbawa Madzab Safiie, tepatnya pada 28 Dzulqaidah 1199 H (1784 M).
Sepeninggal Harrunnurrasyid II, tahta kerajaan beralih pada anak perempuannya, yaitu Sultan Syafiatuddin (1791-1795). Ia kemudian kawin dengan Sultan Bima dan mengikuti suaminya ke Bima, sekaligus memboyong beberapa harta pusaka kerajaan.Karena kejadian itu, maka diputuskan oleh para Menteri Kerajaan untuk tidak lagi mengangkat wanita sebagai raja. Sedangkan pengganti Sultan Syafiatuddin adalah putera Sultan Mahmud bernama Muhammad Kaharuddin II. Pada waktu pemerintahannya inilah Gunung Tambora meletus. Tepatnya pada hari Selasa, 21 Jumadil Awal 1230 H (1815 M). Pada waktu itu Kerajaan Sumbawa dilanda hujan debu. Dalam laporan H. Zolinger disebutkan bahwa sepertiga penduduk mati di pulau Sumbawa dan sepertiganya lagi pindah ke pulau Lombok. Sedangkan abu yang menggenangi wilayah kerajaan Sumbawa sampai setinggi lutut. Setahun kemudian Sultam Muhammad Kaharruddin II pun mangkat pada tanggal 20 Syafar 1231 Hijriah (1816 M). pemangku kerjaan selanjutnya diserahkan kepada Nene Ranga Mele Manyurang. Ia pun tidak lama menduduki singgasana kerajaan, karena pada bulan Rabbiul Awal 1241 Hijriah (1825 M), Nene Ranga yang sudah tua itu meninggal dunia. Kekuasaan dilanjutkan oleh Abdullah hingga ia meninggal pada tanggal 87 Muharram 1252 Hijriah (1836 M)
Mulai tahun 1836 sampai 1882, tahta Kerajaan Sumbawa kembali dilanjutkan oleh Putera Muhammad Kaharuddin II, yaitu Sultan Amrullah. Pada waktu pemerintahannya ini tidak banyak catatan sejarah yang bisa ditemukan, barangkali karena kerajaan baru mulai bangkit dari peristiwa meletusnya Gunung Tambora yang sangat dashyat. Rakyat pun tentu banyak berkurang. Ia meninggal pada tanggal 23 Agustus 1883, sementara kursi raja diteruskan oleh Sultan Muhammad Jalaluddin III, cucu Sultan Amrullah. Pada masa ini campur tangan Belanda sudah terlalu jauh, terutama dalam hal menarik pajak. Akhirnya meledaklah pemberontakan rakyat, yang membuat Belanda harus mendatangkan bala bantuan dari Makassar, sebab hampir di setiap tempat timbul amarah rakyat. Namun karena kelemahan dalam bidang persenjataan, semua bentuk pemberontakan dapat dipatahkan. Kekuasaan Belanda lewat VOC pun semakin merajalela. Maka dimulailah babak baru, Belanda ikut bermain politik di dalama istana, dan ikut menentukan jalannya pemerintahan. Pulau Sumbawa dan Pulau Sumba dijadikan satu dalam bentuk afdeling dengan ibukota di Sumbawa Besar ( Ibukota Kabupaten Sumbawa sekarang). Asisten Resident yang pertama adalah Janson Van Ray. Kerajaan Sumbawa dibagi dalam dua ander afdeeling, yaitu Sumbawa Barat dan Sumbawa Timur.
Dalam pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III (1833-1931) inilah dibangun “Istana Tua Dalam Loka”. Hal ini sangat dimungkinkan karena Sultan Muhammad Jalaluddin III menjalankan roda pemerintahan selama 48 tahun. Ia juga mampu menuruti kehendak Belanda. Setelah ia meninggal pada tahun 1931, kekuasaan raja turun kepada putra mahkota yang mendapat gelar Sultan Muhammad Kaharruddin III. Pada zaman pemerintahannya inilah menjadi masa peralihan kolonialisme Belanda kepada Jepang. Ketika perjanjian Kalijati ditandatangani tanggal 9 Maret 1942, organisasi – organisasi Islam di Kabupaten Sumbawa mulai mengatur siasat. Organisasi itu antara lain Nahdatul Oelama, Moehammadiah dan Al Irsyad. Sementara tiga kerajaan di pulau Sumbawa mengambil sikap tegas, menyatakan diri lepas dari kekuasaan Belanda. Tepat pada bulan Mei 1942, delapan kapal perang Jepang mendarat di Labuhan Mapin di bawah pimpinan Kolonel Haraichi, yang ternyata disambut gembira oleh rakyat. Kekuasaan Jepang tidak berlangsung lama, karena setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi Bom Atom, Jepang menyerah kepada sekutu. Praktis kekuasaannya berakhir. Sebelum Belanda kembali masuk, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Agresi Militer Belanda ke Republik Indonesia mengakibatkan Raja Sumbawa menandatangani sebuah perjanjian politik baru dengan Belanda pada tanggal 14 Desember 1948. Isinya antara lain menjelaskan tentang sisa-sisa kekuasaan yang masih dikuasai oleh Belanda di Sumbawa. Kekuasaan tersebut ada tiga, yaitu bidang pertahanan, hubungan luar negeri dan monopoli atas candu dan garam. Setahun kemudian pemerintah Indonesia Timur berdasarkan Undang – Undang Nomor 44 tahun 1949 membentuk daerah Statuta Federasi Pulau Sumbawa, yang ditetapkan oleh Dewan Raja – raja pada tanggal 6 September 1949.
Perubahan system Pemerintahan terjadi lagi dengan membentuk Propinsi Nusa Tenggara Barat, yang didasarkan pada Undang – Undang Nomor 64 Tahun 1958. Propinsi Sunda Kecil dibagi menjadi tiga Daerah Swatantra Tingkat I yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat ( NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Khusus Daerah Swatantra I Nusa Tenggara Barat menjadi enam Daerah Swantantra Tingkat II, dimana raja sekaligus menjadi Kepala Pemerintahan. Karena itu otomatis Federasi Pulau dibubarkan. Federasi Pulau Lombok dibubarkan pada tanggal 17 Desember 1958 dan tanggal tersebut hingga sekarang dijadikan sebagai hari lahirnya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Sedangkan Federasi Pulau Sumbawa dibubarkan pada tanggal 22 Januari 1959 dan pada saat itu dilantiklah Sultan Muhammad Kaharruddin III menjadi Pejabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Sumbawa. Dasar inilah kemudian pejabat-pejabat yang berkuasa di Sumbawa menjadikan tanggal 22 Januari 1959 sebagai hari lahir Kabupaten Sumbawa.
Sultan Muhammad Kaharuddin III adalah Sultan terakhir dari dinasti Amasa ( Mas ) bantam Dewa Bawa pengganti ayahandanya Sultan Muhammad Jalaluddin III yang mangkat pada tahun 1931.
Pada masa pemerintahannya, kedua menterinya yaitu Datu Ranga Muhammad saleh Daeng Manassa dan datu Dipati Abdul Majid daeng Mattutu minta berhenti. Sejak saat itu jabatan menteri ditiadakan dan kemudian tahun 1942 diangkat pembantu Sultan, yaitu H. Abdullah Lalu Tunruang ( Demung Empang ) menjadi Ambtenar Terberschikking.
Tanggal 14 Desember 1948 Sultan Muhammad Kaharuddin III membuat Lenge Politiek Contract ( Kontrak politik panjang) dengan pemerintah Belanda.Pada masa pemerintahan ini, kedemungan ditingkatkan statusnya menjadi Gemeente yang dikepalai oleh Demung sebagai Gemeentehofd. Dengan peraturan ini, kedemungan yang dulunya hanya daerah administrative menjadi daerah otonom yang secara mandiri mengatur keuangannya sendiri. Awal tahun 1942 diadakan perundingan di Empang. Dari Bima hadir Sultan Bima bersama komandan Aritonang dan dari Sumbawa dihadiri oleh Sultan Sumbawa yang didampingi Ambtenar Abdullah Lalu Tunruang. Dalam perundingan tersebut diambil keputusan sebagai berikut :

Seluruh rakyat agar siap siaga dengan mempersenjatai diri masing-masing
Mengusahakan persediaan makanan untuk menjaga bahaya kelaparan
Menggiatkan ronda malam untuk menghadapi segala kemungkinan
Mengumumkan bahwa kesultanan Sumbawa dan Kesultanan Bima melepaskan diri dari
Kerajaan Belanda.
Menantikan kedatangan bala tentara jepang dengan keadaan tenang dan tentram.

Sejak saat inilah pemerintahan dimulai kembali di tangan bangsa sendiri.
Dengan pemerintahan sendiri pada kerajaan Sumbawa dibentuk kores keamanan yang dinamakan balatentara kerajaan dengan panglima tertinggi Haji Abdullah Lalu Tunruang dan dibantu oleh 2 orang komandan yaitu Lalu Mala yang tadinya Demung Batu Lanteh dan Lalu Makasau Dahlan yang tadinya adalah Demung Moyo Hilir.Ketika tentara jepang mendarat di labuhan Mapin kedemungan Alas pada bulan Mei 1942, di tana samawa sudah berdiri pemerintahan sendiri yang tidak ada lagi campur tangan Belanda. Bala tentara Jepang disambut oleh Ambtenart Panglima Haji Abdullah Lalu Tunruang sebagai wakil Sultan Sumbawa bersama Demung Alas, Demung Seteluk dan Kepala Desa Mapin Rea.
Zaman Pemerintahan Raja-Raja : Tahun 1623 s.d 1637 : Zaman Dewa Maja Paruwa dan Mas Goa. Tahun 1637 s.d 1674 : Zaman Mas Cini Tahun 1674 s.d 1702 : Zaman Mas Bantam, Dewa Dalam Bawa, Sultan Harunnurrasyid I.Tahun 1702 s.d 1723 : Zaman Mas Madina, Amasa Samawa, Datu Bala Balong, Datu Apitai yang bergelar Muhammad Jalaluddin Syah I. Tahun 1723 s.d 1732 : Zaman Dewa Loka Lengit Ling Sampar atau Datu Bala Sawo dan Zaman Dewa Ling Gunung Setia atau Datu Taliwang. Tahun 1733 s.d 1758 : Zaman Dewa Mapasusung, Datu Poro yang bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin I.Tahun 1758 s.d 1796 : Zaman Sultan Siti Aisyah, Datu Ungkap Sermin, Dewa Pangeran, Dewa Mapaconga Mustafa, Harunnurrasyid II dan Sultan Syafiatuddin.Tahun 1796 s.d 1836 : Zaman Sultan Muhammad Kaharuddin II datu Bau Balo, Nene Ranga mele Mayurang, Mele Abdullah.Tahun 1836 s.d 1883: zaman Sultan Amrullah Tahun 1883 s.d 1931: zaman Sultan Muhammad alaluddin III. Tahun 1931 s.d 1959 : zaman Sultan Muhammad Kaharuddin Daeng Manurung bergelar Sultan Muhammad Kaharuddin III.

0 komentar:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 

Pengikut

Berita Terkini Sumbawanews